Sejak aku divonnis dokter kandungan, tak boleh memiliki anak lagi, hatiku sangat sedih. Rupanya, Tuhan hanya menitipkan seoang anak saja yang kulahirkan. Rahimku, hanya boleh melahirkan seoang anak laki-laki di rahimku.
Setelah aku sehat dan kembali dari rumah sakit membawa bayiku, dan bayiku berusia 1 tahun, dengan lemmbut suamiku meminta izin untuk menikah lagi. Alasannya, baginya seorang anak tak mungkin. Dia harus memiliki anak yang lain, laki-laki dan perempuan. Dengan sedih, aku “terpaksa” merelakan suamiku untuk menikah lagi.
Peranakan ku sudah diangkat, demi keselamatanku dan kesehatanku. Sejak pernikahannya, dia jarang pulang ke rumah. Paling sekali dalam seminggu. Kini setelah usia anakku 15 tahun, suamiku justru tak pernh pulang ke rumah lagi.
Dia telah memiliki 4 orang anak, tepatnya dua pasang dari isteri mudanya dan dua anak lagi dari isterinya yang ketiga. Aku harus puas, memiliki tiga buah toko yang diserahkan atas namaku serta sebuah mobil dan sebuah taksi selain sedikit deposito yang terus kutabung untuk biaya kuliah anakku Andika nanti. Andika sendiri sudah tak perduli pada ayahnya.
Malah, kalau ayahnya pulang, kelihatan Andika tak bersahabat dengannya. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Semoga saja Andika tidak berdosa pada ayahnya. Setiap malam Aku selalu mengeloni Andika agar tubuhku tak kedinginan disiram oleh suasana dingin AC 2 PK di kamar tidurku. Andika juga kalau kedinginan, justru merapatkan tubuhnya ke tubuhku.
Andika memang anak yang manja dan aku menyenanginya. Sudah menjadi kebiasaanku, kalau aku tidur hanya memakai daster mini tanpa sehelai kain pun di balik daster miniku. Aku menikmati tidurku dengan udara dinginnya AC dan timpa selimut tebal yang lebar.
NIkmat sekali rasanya tidur memeluk anak semata wayangku, Andika. Kusalurkan belai kasih sayangku padanya. Hanya padanya yang aku sayangi. Sudah beberapa kali aku merasakan, buah dadaku diisap-isap oleh Andika.
Aku mengelus-elus kepala Andika dengan kelembutan dan kasih sayang. Tapi kali ini, tidak seperti biasanya. Hisapan pda pentil teteku, terasa demikian indahnya. Terlebih sebelah tangan Andika mengelus-elus bulu vaginaku. Oh… indah sekali. Aku membiarkannya. Toh dia anakku juga.
Biarlah, agar tidurnya membuahkan mimpi yang indah. Saat aku mencabut pentil tetekku dari mulut Andika, dia mendesah. “Mamaaaaa…” Kuganti memasukkan pentil tetekku yang lain ke dalam mulutnya. Selalu begitu, sampai akhirnya mulutnya terlepas dari tetekku dan aku menyelimutinya dan kami tertidur pulas.
Malam ini, aku justru sangat bernafsu. Aku ingin disetubuhi. Ah… Mampukah Andika menyetubuhiku. Usianya baru 15 tahun. Masih SMP. Mampukah. Pertanyaan itu selalu bergulat dalam batinku. Keesokan paginya, saat Andika pergi ke sekolah, aku membongkar lemari yang sudah lama tak kurapikan.
Di lemari pakaia Andika di kamarnya (walaudia tak pernah meniduri kamarnya itu) aku melihat beberapa keping CD. Saat aku putar, ternyata semua nya film-film porno dengan berbagai posisi. Dadaku gemuruh. Apaah anakku sudah mengerti seks?.
Apakah dia sudah mencobanya dengan perempuan lain? Atau dengan pelacur kah? Haruskah aku menanyakan ini pada anakku? Apakah jiwanya tidak terganggu, kalau aku mempertanyakannya? Dalam aku berpikir, kusimpulkan, sebaiknya kubiarkan dulu dan aku akan menyelidikinya dengan sebaik mungkin dengan setertutup mungkin.
Seusai Andika mengerjakan PR-nya (Diseekolah Andika memang anak pintar), dia menaiki tempat tidur dan memasuki selimutku. Dia cium pipi kiri dan pipi kananku sembari membisikkan: Selamat malam… mama…” Biasanya aku menjawabnya dengan:”Selamat malam sayang…”.
Tapi kalau aku sudah tertidur, biasanyaaku tak menjawabnya.Dadaku gemuruh, apaah malam ini aku mempertanyakan CD porno itu. Akhirnya aku membiarkan saja. Dan… Aku kembali merasakan buah dadaku dikeluarkan dari balik dasterku yang mini dan tipis.
Andika mengisapnya perlahan-lahan. Ah… kembali aku bernafsu. Terlebih kembali sebelah tangannya mengelus-elus bulu vaginaku. Sebuah jari-jarinya mulai mengelus klentitku. AKu merasakan kenikmatan.
Kali ini, aku yakin Andika tidak tidur. Aku merasakan dari nafasnya yang memburu. Aku diam saja. Sampai jarinya memasuki lubang vaginaku dan mempermainkan jarinya di sana. Ingin rasanya aku mendesah, tapi…
Aku tahu, Andika menurunkan celananya, sampai bagian bawah tubuhnya sudah bertelanjang. Dengan sebelah kakinya, dia mengangkangkan kedua kakiku. Dan…. Andika menaiki tubuhku dengan perlahan. Aku merasakan penisnya mengeras. Berkali-kali dia menusukkan penis itu ke dalam vaginaku.
Andika ternyata tidak mengetahui, dimana lubang vagina. Berkali-kali gagal. Aku kasihan padanya, karena hampir saja dia putus asa. Tanpa sadar, aku mengangkangkan kedua kakiku lebih lebar. Saat penisnya menusuk bagian atas vaginaku, aku mengangkat pantatku dan perlahan penis itu memasuki ruang vaginaku.
Andika menekannya. Vaginaku yang sudah basah, langsung menelan penisnya. Nampaknya Andika belum mampu mengatasi keseimbangan dirinya. Dia langsung menggenjotku dan mengisapi tetekku. Lalu crooot…croot…croooootttt, sprmanya menyemprot di dalam vaginaku.
Tubuhnya mengejang dan melemas beberapa saat kemudian. Perlahan Andika menuruni tubuhku. Aku belum sampai… tapi aku tak mungkin berbuat apa-apa. Besok malamnya, hal itu terjadi lagi. Terjadi lagi dan terjadi lagi. Setidaknya tiga kali dalam semingu. Andika pun menjadi laki-laki yang dewasa.
Tak sedikit pun kami menyinggung kejadian malam-malam itu. Kami hanya berbicara tentang hal-hal lain saja. Sampai suatu sore, aku benar-benar bernafsu sekali. Ingin sekali disetubuhi. Saat berpapasan dengan Andika aku mengelus penisnya dari luar celananya. Andika membalas meremas pantatku.
Aku secepatnya ke kamar dan membuka semua pakaianku, lalu merebahkan dri di atas tempat di tutupi selimut. Aku berharap, Andika memasuki kamar tidurku. Belum sempat usai aku berharap, Andika sudah memasuki kamar tidurku. Di naik ke kamar tidurku dan menyingkap selimutku.
Melihat aku tertidur dengan telanjang bulat, Andika langsung melepas semua pakaiannya. Sampai bugil. Bibirku dan tetekku sasaran utamanya. Aku mengelus-elus kepalanya dan tubuhnya. Sampai akhirnya aku menyeret tubuhnya menaiki tubuhku.
Kukangkangkan kedua kakiku dan menuntun penisnya menembus vaginaku. Nafsuku yang sudah memuncak, membuat kedua kakiku melingkar pada pinggangnya. Mulutnya masih rakus mengisapi dan menggigit kecil pentil tetekku.
Sampai akhirnya, kami sama-sama menikmatinya dan melepas kenikmatan kami bersama. Seusai itu, kami sama-sama minum susu panas dan bercerita tentang hal-hal lain, seakan apa yang baru kami lakukan, buka sebuah peristiwa.
Malamnya, selesai Andika mengerjakan PR-nya dia mendatangiku yang lagi baca majalah wanita di sofa. Tatapan matanya, kumengerti apa maunya. Walau sore tadi kami baru saja melakukannya. Kutuntun dia duduk di lantai menghadapku.
Setelah dia duduk,aku membuka dasterku dan mengarahkan wajahnya ke vaginaku. Aku berharap Andika tau apa yang harus dia lakukan, setelah belajar dari CD pornonya. Benar saja, lidah Andika sudah bermain di vaginaku. Aku terus membaca majalah, seperti tak terjadi apa-apa.
Aku merasa nikmat sekali. Lidahnya terus menyedot-nyedot klentitku dan kedua tangannya mengelus-elus pinggangku. Sampai akhirnya aku menjepit kepalanya, karean aku akan orgasme. Andika menghentikan jilatannya Dan aku melepaskan nikmatku.
Kemudia kedua kakiku kembali merenggang. AKu merasakan Andika menjilati basahnya vaginaku. Setelah puas, Andika bangkir. Aku turun ke lantai. Kini Andika yang membuka celananya dan menarik kepalaku agar mulutku merapat ke penisnya. Penis yang keras itu kujilati dengan diam.
Andika menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kepalaku ditangkapnya dan dileus-elusnya. Aku terus menjilatinya dan terus melahap penisnya, sampai spermanya memenuhi mulutku. Sampai akhirnya normal kembali dan kami duduk bersisian menyaksikan film lepas di TV.
Seusai nonton film, aku mengajaknya untuk tidur, karean besok dia harus sekolah, dan aku harus memeriksa pembukuan toko. “yuk tidur sayang,” kataku.Andika bangkit dan menggamit tanganku, lalu kami tertidur pulas sampai pagi.
Siang itu, aku mendengar Andika pulang sekolah dan dia minta makan. Kami sama-sama makan siang di meja makan. Usai makan siang, kami sama-sama mengangkat piring kotor dan sama-sama mencucinya di dapur. Andika menceritakan guru barunya yang sangat disiplin dan terasa agak kejam.
Aku mendengarkan semua keluhan dan cerita anakku. Itu kebiasaanku, sampai akhirnya aku harus mengetahui siapa Andika. Aku juga mulai menanyakan siapa pacarnya dan pernah pergi ke tempat pelacuran atau tidak.
Sebenarnya aku tahu Andika tidak pernah pacaran dan tidak pernah kepelacuran dari diary-nya. Kami sama-sama menyusun piring dan melap piring sampai kering ke rak-nya, sembari kami terus bercerita. “Ma…besok Andika diajak teman mendaki gunung…boleh engak,
Ma?” tanya Andika meminta izinku sembari tangannya memasuku bagian atas dasterku dan mengelus tetekku. “Nanti kalau sudah SMA saja ya sayang…” kataku sembari mengelus penis Andika. “Berarti tahun depan dong, Ma,” katanya sembari mengjilati leherku. “Oh… iya sayang.
Tahun depan” kataku pula sembari membelai penisnya dan melepas kancing celana biru sekolahnya dan melepas semua pakaiannya sampai Andika telanjang bulat. “Kalau mama bilang gak boleh ya udah. Andika gak ikut,” katanya sembari melepaskan pula kancing dasterku sampai aku telanjang bulat.
Ya.. kami terus bercerita tentang sekolah Andika dan kami sudah bertelanjang bulat bersama. “Sesekali kita wisata ke puncak yuk ma…” kata Andika sembari menjilati leherku dan mengelus tetekku. Aku duduk di kursi dan Andika berdiri di belakangku. Uh… anakku sudah benar-benar dewasa.
Dia ingin sekali bermesraan dan sangat riomantis. “Kapan Andika maunya ke puncak?” kataku sembari menkmati jilatannya. Aku pun mulai menuntunnya agar berdiri hadapanku. Andika kubimbing untuk naik ke atas tubuhku. Kedua kakinya mengangkangi tubuhku dan bertumpu pada kursi.
Panttanya sudah berada di atas kedua pahaku dan aku memeluknya. Kuarahkan mulutnya untuk mengisap pentil tetekku. “Bagaimana kalau malam ini saja kita ke puncak sayang. Besok libur dan lusa sudah minggu. Kita di pucak dua malam,” kataku sembari mengelus-elus rambutnya.
“Setuju ma. Kita bawa dua buah selimut ma,” katanya mengganti isapan \nya dari tetekku yang satu ke tetekku yang lain. “Kenapa harus dua sayang. Satu saja..” kataku yang merasakan tusukan penisnya yang mengeras di pangkal perutku.
“Selimutnya kita satukan biar semakin tebal, biar hangat ma. Dua selimut kita lapis dua,” katanya. Dia mendongakkan wajahnya dan memejamkan matanya, meminta agar lidahku memasuki mulutnya. Aku menjilatnya. Sluuupp… lidahku langsung diisapnya dengan lembut dan sebelah tangannya mengelus tetekku.
Tiba-tiba Andika berdiri dan mengarahkan penisnya ke mulutku. Aku menyambutnya. Saat penis itu berada dalam mulutku dan aku mulai menjilatinya dalam mata terpejam Andika mengatakan:”Rasanya kita langsung saja pergi ya ma. Sampai dipuncak belum sore.
Kita boleh jalan-jalan ke gunung yang dekat villa itu,” katanya. Aku mengerti maksudnya, agar aku cepat menyelesaikan keinginannya dan kami segera berangkat. Cepat aku menjilati penisnya dan Andika Meremas-remas rambutku dengan lembut.
Sampai akhirnya, Andika menekan kuat-kuat penisnya ke dalam mulutku dan meremas rambutku juga. Pada mulutku, aku merasakan hangatnya semprotan sperma Andika beberapa kali. Kemudian di duduk kembali ke pangkuanku.
Di ciumnya pipiku kiri-kanan dan mengecup keningku. Uh… dewasanya Andika. Aku membalas mengecup keningnya dengan lembut. Andika turun dari kursi, lalu memakaikan dasterku dan dia pergi ke kamar mandi. Aku kekamar menyiapkan sesuatu yang harus kami bawa.
Aku tak lupa membawa dua buah selimut dan pakaian yang mampu menghangatkan tubuhku. Semua siap. Mobil meluncur ke puncak, mengikuti liuknya jalan aspal yang hitam menembus kabut yang dingin. Kami tiba pukul 15.00.
Setelah check in, kami langsung makan di restoran di tepi saw2ah dan memesan ikan mas goreng serta lalapannya. Kami makan dengan lahap sekali. Dari sana kami menjalani jalan setapak menaik ke lereng bukit. Dari sana, aku melihat sebuah mobilo biru tua,
Toyota Land Cruiser melintas jalan menuju villa yang tak jauh dari villa kami. Mobil suamiku, ayahnya Andika. Pasti dia dengan isteri mudanya atau dengan pelacur muda, bisik hatiku. Cepat kutarik Andika agar dia tak melihat ayahnya.
Aku terlambat, Andika terlebih dulu melihat mobil yang dia kenal itu. Andika meludah dan menyumpahi ayahnya:”Biadab !!!” Begitu bencinya dia pada ayahnya. Aku hanya memeluknya dan mengelus-elus kepalanya. Kami meneruskan perjalanan.
Aku tak mau suasana istirahat ini membuatnya jadi tak indah. Sebuah bangku terbuat dari bata yang disemen. Kami duduk berdampingan diatasnya menatap jauh ke bawah sana, ke hamparan sawah yang baru ditanami. Indah sekali. Andika merebahkan kepalanya ke dadaku.
AKu tahu galau hatinya. Kuelus kepalanya dan kubelai belai. “Tak boleh menyalahkan siapapun dalam hidup ini. Kita harus menikmati hidup kita dengan tenanag dan damai serta tulus,” kata kumengecup bibirnya.
Angin mulai berhembus sepoi-sepoi dan kabut sesekali menampar-nampar wajah kami. Andika mulai meremas tetekku, walau masih ditutupi oleh pakaianku dan bra. “Iya. Kita harus hidup bahagia. Bahagia hanya untuk milik kita saja,” katanya lalu mencium leherku.
“Kamu lihat petani itu? Mereka sangat bahagia meniti hidupnya,” kataku sembari mengelus-elus penisnya dari balik celananya. Andika berdiri, lalu menuntunku berdiri. Akua mengikutinya. Dia mengelus-elus pantatku dengan lembut.
“Lumpur-lumpur itu pasti lembut sekali, Ma,” katanya terus mengelus pantatku. Pasti Andika terobsesi dengan seks, pikirku. Aku harus memberinya agar dia senang dan bahagia serta tak lari kemana-mana apalagi ke pelacur. Dia tak boleh mendapatkannya dari perempuan jalang.
Kami mulai menuruni bukit setelah mobil Toyota biru itu hilang, mungkin ke dalam garasi villa. Andika tetap memeluk pinggangku dan kami memesan dua botol teh. Kami meminumnya di tepi warung. “Wah… anaknyanya ganteng sekali bu. Manja lagi,” kata pemilik warung.
Aku tersenyum dan Andika pun tak melepaskan pelukannya. Sifatnya memang manja sekali. “Senang ya bu, punya anak ganteng,” kata pemilik warung itu lagi. Kembali aku tersenyum dan orang-orang yang berada di warung itu kelihatan iri melihat kemesraanku dengan anakku.
Mereka pasti tidak tau apa yang sedang kami rasakan. Keindahan yang bagaimana. Mereka tak tahu. Setelah membayar, kami menuruni bukit dan kembali ke villa. Angin semakin kencang sore menjelang magrib itu.
Kami memesan dua gelas kopi susu panas dan membawanya ke dalam kamar. Setelah mengunci kamar, aku melapaskan semua pakaianku. Bukankah tadi Andika mengelus-elus pantatku? BUkankah dia ingin ajak seks? Setelah aku bertelanjang bulat, aku mendekati Andika dan melepaskan semua pakaiannya. Kulumasi penisnya pakai lotion.
Aku melumasi pula duburku dengan lotion. Di lantai aku menunggingkan tubuhku. Andika mendatangiku. Kutuntun penisnya yang begitu cepat mengeras menusuk lubang duburku. Aku pernah merasakan ini sekali dalam hidupku ketika aku baru menikah.
Sakit sekali rasanya. Dari temanku aku mengetahui, kalau mau main dri dubur, harus memakai pelumas, katanya. Kini aku ingin praktekkan pada Andika Andika mengarahkan ujung penisnya ke duburku. Kedua lututnya, tempatnya bertumpu. Perlahan…perlahan dan perlahan.
Aku merasakan tusukan itu dengan perlahan. Ah… Andika, kau begitu mampu memberikan apa yang aku inginkan, bisik hatiku sendiri. Setiap kali aku merasa kesat, aku denga tanganku menambahi lumasan lotion ke batangnya. Aku merasakan penis itu keluar-masuk dalam duburku.
Kuarahkan sebelah tangan Andika untuk mengelus-elus klentitku. Waw… nikmat sekali. Di satu sisi klentitku nikmat disapu-sapu dan di sisi lain, duburku dilintasi oleh penis yang keluar masuk sangat teratur. Tak ada suara apa pun yang terdengar. Sunyi sepi dan diam.
Hanya ada desah angin, desah nafas yang meburu dan sesekali ada suara burung kecil berkicau di luar sana, menuju sarangnya. Tubuh Andika sudah menempel di punggungku. Sebelah tangannya mengelus-elus klentitku dan sebelah lagi meremas tetekku.
Lidahnya menjilati tengkukku dan dan leherku bergantian. Aku sangat beruntung mememiliki anak seperti Andika. Dia laki-laki perkasa dan penuh kelembutan. Tapi… kenapa kali ini dia begitu buas dan demikian binal? Tapi… Aku semakin menikmati kebuasan Andika anak kandungku sendiri.
Buasnya Andika, adalah buas yang sangat santun dan penuh kasih. Aku sudah tak mampu membendung nikmatku. AKu menjepit tangan Andika yang masih mengelus klentitku juga menjepit penisnya dengan duburku. Andika mendesah-desah.
“Oh… oh….oooooohh…” Andika menggigit bahuku dan mempermainkan lidahnya di sela-sela gigitannya. Dan remasan pada tetekku terasa begitu nikmat sekali. Ooooooooooohhhh… desahnya dan aku pun menjerit.. Akhhhhhhhhhhhh………
Lalu aku menelungkup di lantai karpet tak mampu lagi kedua lututku untuk bertumpu. Penis Andika mengecil dan meluncur cepat keluar dari duburku. Andika cepat membalikkan tubuhku. Langsung aku diselimutinya dan dia masuk ke dalam selimut, sembari mengecupi leherku dan pipiku.
Kami terdiam, sampai desah nafas kami normal. Andika menuntunku duduk dan membimbingku duduk di kursi, lalu melilit tubuhku dengan selimut hotel yang tersedia di atas tempat tidur. Dia mendekatkan kopi susu ke mulutku. Aku meneguknya.
Kudengar dia mencuci penisnya, lalu kembali mendekat padaku. Dia kecup pipiku dan mengatakan:”Malam ini kita makan apa, Ma?” “Terserah Andika saja sayang.” “Setelah makan kita kemana, Ma?” dia membelai pipiku dan mengecupnya lagi.
“Terserah Andika saja sayang. Hari ini, adalah harinya Andika. Mama ngikut saja apa maunya anak mama,” kataku lembut. “OK, Ma. Hari ini harinya Andika. Besok sampai minggu, harinya mama. Malam ini kita di kamar saja.
Aku tak mau ketemu dengan orang yang naik Toyota Biru itu,” katanya geram. Nampaknya penuh dendam. Aku menghela nafas. Usai makan malam, kami kembali ke kamar dan langsung tidur di bawah dua selimut yang hangat dan berpelukan. Kami tidur sampai pukul 09.00 pagi baru terbangun.
Posting Komentar