Bercumbu dengan Teman mama ku



Sejak setelah menikah, ibu tinggal di rumah kecil kami beberapa bulan sambil menunggu bangunan rumah baru mereka selesai. Lagi-lagi, rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel ayah. Ayah menolak tinggal di rumah tante Tina karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak process yang dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya.


Ayah pernah memohon kepada ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan. Kini bengkel ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik.


Pelanggan ayah makin bertambah, dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak memecat pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama.


Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar-benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering melancong ke luar negeri bersama ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri dengan pembantu. Alasan aku ditinggal mereka karena aku masih harus sekolah.


Ibu sering mengundang teman-teman lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya bernama tante Fany. Tante Fany saat itu hanya 15 tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas aku panggil kakak dari pada tante, karena wajahnya yang masih terlihat seperti orang berumur 20 tahunan. Tanti Fany adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik ibu.


Wajah tante Fany tergolong cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main. Maklum anak orang kaya yang suka tandang ke salon kecantikan. Tante Fany sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu berjam-jam. Tidak jarang tante Fany keluar bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall.


Aku pernah sempat bertanya tentang kehidupan pribadi tante Fany. Ibu bercerita bahwa tante Fany itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Fany sempat ingin menikah, tapi ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti ini.



Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari rumah. Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan pembantu saja yang tinggal di rumah. Saat itu aku ingin sekali kabur dari rumah, dan menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang ketinggalan.


Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu, suara tante Fany menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.


“Dewa kok ngga ikut papa mama ke Bandung?” tanya tante Fany.

“Kalo ke Bandung sih Dewa malas, tante. Kalo ke Singapore Dewa mau ikut.” jawabku santai.

“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore. Tante ada apartment di sana” tungkas tante Fany.

Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh. Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo penting.”.

“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih. Dewa mau ngga temenin tante?”.

“Emang tante mau makan di mana?”

“Tante sih mikir Pizza Hut.”

“Males ah ogah kalo Pizza Hut.”

“Trus Dewa maunya pengen makan apa?”

“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”

“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”

“Entaran aja tante. Dewa masih belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”


Kami berdua nonton bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Fany mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya memakai baju berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira-kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Fany putih mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel seadanya saja sambil menunggu sampai jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante Fany suka bertanya tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan tentang kehidupan cintaku di sekolah. Aku mengatakan kepada tante Fany bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo naksir sih ada, cuma aku tidak sampai mengganggap terlalu serius.


Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh tante Fany semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dia pakai mulai tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran apa-apa saat itu.


Tiba-tiba tante Fany berkata, “Dewa, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.

“Huh? Mana enak?” tanyaku.

“Mau tante kitik kuping Dewa?” tante Fany menawarkan/

“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.

“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Fany.

“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.

“Alahh sok bersih kamu Dewa. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Fany.

“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.


Seperti sapi dicucuk hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante Fany. Ternyata memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.


“Dewa, bangun yuk. Tante dah laper nih.” kata tante.

“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.

“Udah jam 7 lewat Dewa. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.

“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”

“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”

“Oke oke, kasih Dewa lima menit lagi deh tante.” mintaku.

“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”


Sambil malas-malasan aku bangun dari sofa. Kulihat tante Fany sedang membenarkan posisi roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Fany tersingkap tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Fany, begitulah aku berpikir. Ada rasa senang juga di dalam hati.


Setelah mencuci muka, ganti pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.


“Nih kamu yang setir mobil tante dong.”

“Ogah ah, Dewa cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Fany membawa sedan Honda, bukan Mercedes-nya.

“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Fany.

“No way … bisa digantung aku ama papa mama.” jawabku.

“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Fany sambil tertawa kemenangan.


Mobil melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta. Tante Fany seperti bebek saja, ngga pernah stop ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Fany tidak protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia.


Setelah makan, kita mampir ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Fany mengajakku mampir ke rumahnya. Tante Fany tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Fany sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari tante Fany, yang tante Fany tidak pernah merasa kekurangan materi.


Apartemen tante Fany lumayan bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada siapa-siapa yang tinggal di sana selain tante Fany. Jadi aku bisa maklum apabila tante Fany sering keluar rumah. Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di apartemen.


“Anggap rumah sendiri Dewa. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”

“Kalo begitu, Dewa mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.

“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.” cegah tante Fany.

“Tapi Dewa dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.

“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.


Tiba-tiba suara tante Fany menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding. Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang murahan.


“Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Fany memecahkan suasana hening sebelumnya.

“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.

“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal. Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.”


Aku masih menyibukkan diri mengamati lukisan-lukisan yang ada, dan tante Fany tidak bosan menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Fany ternyata memiliki kecintaan tinggi terhadap seni lukis.


“Ok deh. Kalo begitu Dewa mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu yah.” kataku.

“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.


Aku juga merasa kasihan dengan keadaan tante Fany yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Fany sudah ingin tidur.


“Kita main UNO yuk?!” ajak tante Fany.

“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.

“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Fany. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Fany. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.


Tante Fany masuk ke kamarnya lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama minuman. Tante Fany membawa kacang mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on rock (pake es batu). Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kami pun mulai bermain-main santai sambil makan kacang mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum sendirian.


Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas. Melihat kejadian ini, tante Fany menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa aku bukan bakat peminum. Tenang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1 gelas Hennessy sendirian.


“Tante, anterin Dewa pulang yah. Kepala Dewa rada berat.”

“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Fany.


Aku merasa tante Fany berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Fany minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat tingkahku yang suka menurut, tante Fany mulai terlihat lebih asik lagi. Dia mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat.


Tapi permainan kartu ini menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Fany ralat menjadi ‘Truth & Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante Fany sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’ punishment, lama-lama aku menjadi semakin Keasikan menanyakan yang bukan-bukan. Sebaliknya dengan tante Fany, dia lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya buat tante Fany menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku terlihat lurus-lurus saja menurutnya.


Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga heran kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai pertanyaan yang menjurus ke seks seperti misalnya kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan. Semuanya tanpa ragu-ragu tante Fany jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan.


Kini permainan kami semakin wild dan Asik . Tante Fany mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul tante Fany.


“Yee, tante menang lagi. Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Fany dengan senyum kemenangan.

“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku.


Selang beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Fany kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang aku kenakan.


“Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …” candaku sambil tertawa gembira.

“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya.


Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Fany bugil juga. Aku pengen sekali menang terus.


“Full house … yeahhh … kalah lagi tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira.

Terlihat tante Fany melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.

“Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.


Aku rada gondok mendengar pembelaan tante Fany. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi.


“Straight … Dewa … One Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Fany girang. Aku pun segera melepas jaket aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku dalam hati.


“Dewa Three kind … tante … one pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum. Dan tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya. Aku serentak menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Dewa junior dengan serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya.


“Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil tersenyum malu.


“Yes Full House, kali ini tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Fany girang banget bisa dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada.

“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Fany sambil tersenyum.

Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Fany kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Fany membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.

“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Fany.

Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami.


“Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi.

Tanpa disuruh, tante Fany melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Fany hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku


sempat berpikir apakah tante Fany mencukur semua bulu-bulu pubisnya.


Muka tante Fany sedikit memerah. Kulihat tante Fany sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu. Aku hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante Fany.


“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku.


Tante Fany kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Dewa tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Fany melepaskan BH-nya dan serentak jatungku ingin copot. Benar apa kata tante Fany, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat payudara Wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Fany sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.


“Aih Dewa, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Fany. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’.

“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih. Dasar genit kamu.” tambah tante Fany lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu.


Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba.


Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Fany meminta aku melepas celana yang aku kenakan. Kini aku telanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Fany hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak tawaran tante Fany untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi.


Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya. Babak penentuan apakah tante Fany akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan berpihak kepadaku.


Ternyata harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Fany. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Fany. Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Fany mencegahnya.

“Tunggu Dewa. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Dewa dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini” kata tante Fany.

Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Fany terdiam sejenak kemudian tersenyum genit. Senyum genitnya ini lebih menantang daripada yang sebelum-sebelumnya.

“Tante dare Dewa untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Fany.

“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.

“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Fany.

“Bukan karena itu. Tapi … Dewa belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.

“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Dewa.” kata tante Fany.


Tanpa berpikir Panjang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Fany. Tante Fany kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Fany. Tante Fany diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante Fany. Bau wine merah sempat tercium di hidungku.


Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Fany. Maklum ini baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Fany. Tante Fany dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Fany, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang pula di dalam mulut tante Fany.


Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku panas dibuatnya. Tante Fany seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante Fany pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia tersangsang.


“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Fany.


Aku pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman. Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya. Tante Fany menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.


“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar Dewa bosan ama tante.” candanya.

“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.

“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Fany kemudian terputus. Kalimat tante Fany ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Fany malam itu.


Aku semakin Keasikan dan menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Fany sengaja untuk mengalah dalam bermain poker malam itu. Tenang aja aku menang lagi kali ini. Aku sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku sangat memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.


“Dewa menang lagi tuh. Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Fany sambil menggoda.

“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.

“Gini aja, Dewa pengen emut-emut susu tante Fany.” jawabku tidak tau malu.


Ternyata wajah tante Fany tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Dewa.”.

“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran. Tante Fany hanya mengangguk pertanda setuju.


Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante Fany. Bau parfum harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Fany dengan lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Fany, memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara tante Fany. AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya. Kuluman yang tante Fany dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap tubuh tante Fany. Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Fany perlahan-lahan semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa memastikan bahwa tante Fany saat ini sedang terangsang atau istilah modern-nya ‘horny’.


“Dewa … kamu nakal banget sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Fany dengan nada terputus-putus. Aku tidak mengubris kata-kata tante Fany, tapi malah semakin bersemangat memainkan kedua puting susunya. Tante Fany tidak memberikan perlawanan sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya.


Aku mencoba mendorong tubuh tante Fany perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet. Ternyata tante Fany tidak menahan/menolak, bahkan tante Fany hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya terbaring di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante Fany. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Fany, dan oh my, wangi betul leher tante Fany. Tante Fany memejamkan kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya, memberikan sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa yang harus aku lakukan, padahal ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi suasana seperti ini.


Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di atas bibir tante Fany, dan kami kembali berciuman mesra sambil berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Fany. Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala belakang tante Fany, sedangkan tangan kananku meremas-remas payudara kiri tante Fany.


Tubuh tante Fany seperti cacing kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman denganku. Tanpa diberi komando, tante Fany tiba-tiba melepas celana dalamnya sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Fany memberikan instinct bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya.


Aku ingin sekali melihat kemaluan tante Fany saat itu, namun tante Fany tiba-tiba menarik tangan kananku untuk mendarat di kemaluannya.

“Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/memek tante Fany mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut tante Fany dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya.pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante Fany berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Fany mulai basah dan licin.


“Dewa … kamu yah … aaahhhh … kok jahat ama tante?” tanya tante Fany terengah-engah.

“Kan tante yang suruh tangan Dewa ke sini?” jawabku.

“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Dewaa … Dewa … kamu kok nakal?” tanya tante Fany lagi.

“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Fany.

“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Fany mulai serak-serak basah.


Aku tetap memainkan itil tante Fany, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante Fany menjerit kencang seakaan-akan terjadi gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Fany bukan tipe Wanita yang suka merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Fany tidak sakit buatku.


“Dewa … tante datangggg uhhh oohhh …” erang tante Fany. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu. Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu, tubuh tante Fany lemas dan nafasnya terengah-engah.


Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Fany, tapi sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Fany. Keragu-raguanku ini terbaca oleh tante Fany. Dengan lembutnya tante Fany berkata, “Dewa, kalo pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh liat kontol Dewa dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah panas.”.


Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang penisku ke mulut vagina tante Fany, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan. Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Fany. Selain mungkin karena basahnya dinding-dinding memek tante Fany yang memuluskan jalan masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah masuk di dalam sana.


“Uhhh … ohhh … Dewa … ahhh …” desah tante Fany.

Aku coba mengocok-kocok memek tante Fany dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Fany terlihat semakin ‘horny’, dan mendesah tak karuan.

“Dewa … Dewa … aduhhh Dewa … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Fany.

Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Fany, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Fany, sehingga aku berhenti sejenak.

“Dewa … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Fany.

“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi … ” jawabku serius.

“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam. Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Fany.

“Beres tante.” jawabku.

“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Fany genit.


Tanpa menunda banyak waktu lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Fany semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di sekitar bulu jembutku.


Aku mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan telingaku panas. Tante Fany pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan tante Fany 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku semakin mendekat saja.


“Dewa … ampunnn Dewa … kontolnya kok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi … tante geliii banget nihhh …” kata tante Fany.

“Tante … Dewa dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.


Puting tante Fany semakin terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras. Aku mendekatkan wajahku ke wajah tante Fany, dan bibir kami saling berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas tubuh tante Fany.


Aku percepat kocokan penisku di dalam memek tante Fany. Tante Fany sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan saja.


“Dewass … tante datangggg … uhhh … ahhhhhh …” jerit tante Fany sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda tante Fany telah ‘orgasme’.


Aku pun juga sama, lahar panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar. Aku masih ingat pesan tante Fany agar spermaku dilepas keluar dari memek tante Fany.


“Tante … Dewasss datangggg …” jeritku pFanyk. Kutarik penisku dari dalam memek tante Fany, dan penisku memuncratkan spermanya di perut tante Fany. Saking kencangnya, semburan spermaku sampai di dada dan leher tante Fany.


“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan kepuasanku.

“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Fany. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat mengomentari candaan tante Fany.


Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Fany. Kepalaku masih teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke langit-langit apartment tante Fany. Aku baru saja menikmati yang namanya surga dunia.


Tante Fany kemudian memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku tercium oleh hidungku.


“Dewa puas ngga?” tanya tante Fany.

“Bukan puas lagi tante … tapi Dewa seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.

“Emang memek tante surga yah?” canda tante Fany.

“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.

“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.

“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Dewa?” tanya tante Fany manja.

“Anuu … Dewa kasih si Dewa Junior … tuh tante liat jembut Dewa banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.

“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Fany sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.


“Dewa sering-sering datang ke rumah tante aja. Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante Fany.

“Sippp tante.” jawabku serentak girang.


Malam itu aku nginap di rumah tante Fany. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah. Aku sempat minta jatah 1 kali lagi dengan tante Fany, namum ajakanku ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya.


Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap tante Fany tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan ibu. Tante Fany senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang bervariasi pula selain apartementnya sendiri. Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku (ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai di sana). Tante Fany sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Fany seks dapat membuatnya merasa enak secara jasmFany dan rohFany, belum lagi seks yang teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah menceritakan kepadaku tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur.


Tante Fany paling suka ‘bermain’ tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi. Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Fany lupa menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan berejakulasi di luar (meskipun ini rawan kehamilannya tinggi juga).


Hubungan gelap ini sempat berjalan hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap tante Fany. Maklum aku masih tergolong remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi. Namun tante Fany menolaknya dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Fany bertambah serius, banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami. Tante Fany sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah hati waktu itu (hampir 1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Fany.


Saat ini aku masih berhubungan baik dengan tante Fany. Kami kadang-kadang menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Fany sampai sekarang masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single. Aku putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan pacarku, tante Fany sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Fany, namun tante Fany seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan mencari seorang pelarian. Jadi tante Fany tidak pernah merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin membantu meringkankan beban perasaan temannyaSejak setelah menikah, ibu tinggal di rumah kecil kami beberapa bulan sambil menunggu bangunan rumah baru mereka selesai. Lagi-lagi, rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel ayah. Ayah menolak tinggal di rumah tante Tina karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak process yang dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya.


Ayah pernah memohon kepada ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan. Kini bengkel ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik.


Pelanggan ayah makin bertambah, dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak memecat pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama.


Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar-benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering melancong ke luar negeri bersama ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri dengan pembantu. Alasan aku ditinggal mereka karena aku masih harus sekolah.


Ibu sering mengundang teman-teman lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya bernama tante Fany. Tante Fany saat itu hanya 15 tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas aku panggil kakak daripada tante, karena wajahnya yang masih terlihat seperti orang berumur 20 tahunan. Tanti Fany adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik ibu.


Wajah tante Fany tergolong cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main. Maklum anak orang kaya yang suka tandang ke salon kecantikan. Tante Fany sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu berjam-jam. Tidak jarang tante Fany keluar bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall.


Aku pernah sempat bertanya tentang kehidupan pribadi tante Fany. Ibu bercerita bahwa tante Fany itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Fany sempat ingin menikah, tapi ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti ini.


Cerita Dewasa Tanteku Seorang Tante Girang

Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari rumah. Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. filmbokepjepang.net Lagi-lagi hanya aku dan pembantu saja yang tinggal di rumah. Saat itu aku ingin sekali kabur dari rumah, dan menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang ketinggalan.


Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu, suara tante Fany menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.


“Dewa kok ngga ikut papa mama ke Bandung?” tanya tante Fany.

“Kalo ke Bandung sih Dewa malas, tante. Kalo ke Singapore Dewa mau ikut.” jawabku santai.

“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore. Tante ada apartment di sana” tungkas tante Fany.

Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh. Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo penting.”.

“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih. Dewa mau ngga temenin tante?”.

“Emang tante mau makan di mana?”

“Tante sih mikir Pizza Hut.”

“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”

“Trus Dewa maunya pengen makan apa?”

“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”

“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”

“Entaran aja tante. Dewa masih belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”


Kami berdua nonton bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Fany mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya memakai baju berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira-kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Fany putih mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel seadanya saja sambil menunggu sampai jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante Fany suka bertanya tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan tentang kehidupan cintaku di sekolah. Aku mengatakan kepada tante Fany bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo naksir sih ada, cuma aku tidak sampai mengganggap terlalu serius.


Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh tante Fany semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dia pakai mulai tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran apa-apa saat itu.


Tiba-tiba tante Fany berkata, “Dewa, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.

“Huh? Mana enak?” tanyaku.

“Mau tante kitik kuping Dewa?” tante Fany menawarkan/

“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.

“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Fany.

“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.

“Alahh sok bersihan kamu Dewa. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Fany.

“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.


Seperti sapi dicucuk hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante Fany. Ternyata memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.


“Dewa, bangun yuk. Tante dah laper nih.” kata tante.

“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.

“Udah jam 7 lewat Dewa. duniasex99.com Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.

“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”

“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”

“Oke oke, kasih Dewa lima menit lagi deh tante.” mintaku.

“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”


Sambil malas-malasan aku bangun dari sofa. Kulihat tante Fany sedang membenarkan posisi roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Fany tersingkap tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Fany, begitulah aku berpikir. Ada rasa senang juga di dalam hati.


Setelah mencuci muka, ganti pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.


“Nih kamu yang setir mobil tante dong.”

“Ogah ah, Dewa cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Fany membawa sedan Honda, bukan Mercedes-nya.

“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Fany.

“No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.

“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Fany sambil tertawa kemenangan.


Mobil melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta. Tante Fany seperti bebek saja, ngga pernah stop ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Fany tidak protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia.


Setelah makan, kita mampir ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Fany mengajakku mampir ke rumahnya. Tante Fany tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Fany sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari tante Fany, yang tante Fany tidak pernah merasa kekurangan materi.


Apartemen tante Fany lumayan bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada siapa-siapa yang tinggal di sana selain tante Fany. Jadi aku bisa maklum apabila tante Fany sering keluar rumah. Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di apartemen.


“Anggap rumah sendiri Dewa. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”

“Kalo begitu, Dewa mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.

“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.” cegah tante Fany.

“Tapi Dewa dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.

“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.


Tiba-tiba suara tante Fany menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding. Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang murahan.


“Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Fany memecahkan suasana hening sebelumnya.

“Bagus tante. High taste banget. filmbokepjepang.net Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.

“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal. Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.”


Aku masih menyibukkan diri mengamati lukisan-lukisan yang ada, dan tante Fany tidak bosan menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Fany ternyata memiliki kecintaan tinggi terhadap seni lukis.


“Ok deh. Kalo begitu Dewa mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu yah.” kataku.

“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.


Aku juga merasa kasihan dengan keadaan tante Fany yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Fany sudah ingin tidur.


“Kita main UNO yuk?!” ajak tante Fany.

“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.

“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Fany. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.

“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Fany. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.


Tante Fany masuk ke kamarnya lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama minuman. Tante Fany membawa kacang mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on rock (pake es batu). Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kamipun mulai bermain-main santai sambil makan kacang mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum sendirian.


Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas. Melihat kejadian ini, tante Fany menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa aku bukan bakat peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1 gelas Hennessy sendirian.


“Tante, anterin Dewa pulang yah. Kepala ogut rada berat.”

“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Fany.


Aku merasa tante Fany berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Fany minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat tingkahku yang suka menurut, tante Fany mulai terlihat lebih berFany lagi. Dia mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat.


Tapi permainan kartu ini menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Fany ralat menjadi ‘Truth & Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante Fany sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’ punishment, lama-lama aku menjadi semakin berFany menanyakan yang bukan-bukan. Sebaliknya dengan tante Fany, dia lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya buat tante Fany menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku terlihat lurus-lurus saja menurutnya.


Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga heran kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai pertanyaan yang menjurus ke seks seperti misalnya kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan. Semuanya tanpa ragu-ragu tante Fany jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan.


Kini permainan kami semakin wild dan berFany. Tante Fany mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul tante Fany.


“Yee, tante menang lagi. Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Fany dengan senyum kemenangan.

“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku.


Selang beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Fany kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang aku kenakan.


“Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …” candaku sambil tertawa gembira.

“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya.


Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Fany bugil juga. Aku pengen sekali menang terus.


“Full house … yeahhh … kalah lagi tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira.

Terlihat tante Fany melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.

“Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.


Aku rada gondok mendengar pembelaan tante Fany. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi.


“Straight … Dewa … One Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Fany girang. Aku pun segera melepas jaket aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku dalam hati.


“Dewa Three kind … tante … one pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum. Dan tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya. Aku serentak menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Dewa junior dengan serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya.


“Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil tersenyum malu.


“Yes Full House, kali ini tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Fany girang banget bisa dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada.

“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Fany sambil tersenyum.

Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Fany kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Fany membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.

“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Fany.

Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami.


“Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi.

Tanpa disuruh, tante Fany melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Fany hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku

jual bokeb murah

sempat berpikir apakah tante Fany mencukur semua bulu-bulu pubisnya.


Muka tante Fany sedikit memerah. Kulihat tante Fany sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu. Aku hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante Fany.


“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku.


Tante Fany kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Dewa tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Fany melepaskan BH-nya dan serentak jatungku ingin copot. Benar apa kata tante Fany, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat payudara wFanyta dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Fany sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.


“Aih Dewa, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Fany. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’.

“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih. Dasar genit kamu.” tambah tante Fany lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu.


Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba.


Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Fany meminta aku melepas celana yang aku kenakan. Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Fany hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak tawaran tante Fany untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi.


Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya. Babak penentuan apakah tante Fany akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan berpihak kepadaku.


Ternyata harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Fany. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Fany. Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Fany mencegahnya.

“Tunggu Dewa. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Dewa dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini” kata tante Fany.

Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Fany terdiam sejenak kemudian tersenyum genit. Senyum genitnya ini lebih menantang daripada yang sebelum-sebelumnya.

“Tante dare Dewa untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Fany.

“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.

“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Fany.

“Bukan karena itu. Tapi … Dewa belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.

“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Dewa.” kata tante Fany.


Tanpa berpikir ulang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Fany. Tante Fany kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Fany. Tante Fany diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante Fany. Bau wine merah sempat tercium di hidungku.


Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Fany. Maklum ini baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Fany. putri77.net Tante Fany dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Fany, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang pula di dalam mulut tante Fany.


Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku panas dibuatnya. Tante Fany seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante Fany pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia tersangsang.


“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Fany.


Aku pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman. Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya. Tante Fany menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.


“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar Dewa bosan ama tante.” candanya.

“Masih belon bosan tante. filmbokepjepang.net Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.

“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Fany kemudian terputus. Kalimat tante Fany ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Fany malam itu.


Aku semakin berFany dan menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Fany sengaja untuk mengalah dalam bermain poker malam itu. Terang aja aku menang lagi kali ini. Aku sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku sangat memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.


“Dewa menang lagi tuh. Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Fany sambil menggoda.

“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.

“Gini aja, Dewa pengen emut-emut susu tante Fany.” jawabku tidak tau malu.


Ternyata wajah tante Fany tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Dewa.”.

“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran. Tante Fany hanya mengangguk pertanda setuju.


Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante Fany. Bau parfum harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Fany dengan lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Fany, memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara tante Fany. AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya. Kuluman yang tante Fany dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap tubuh tante Fany. Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Fany perlahan-lahan semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa memastikan bahwa tante Fany saat ini sedang terangsang atau istilah modern-nya ‘horny’.


“Dewass … kamu nakal banget sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Fany dengan nada terputus-putus. Aku tidak mengubris kata-kata tante Fany, tapi malah semakin bersemangat memainkan kedua puting susunya. Tante Fany tidak memberikan perlawanan sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya.


Aku mencoba mendorong tubuh tante Fany perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet. Ternyata tante Fany tidak menahan/menolak, bahkan tante Fany hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya terbaring di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante Fany. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Fany, dan oh my, wangi betul leher tante Fany. Tante Fany memejamkan kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya, memberikan sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa yang harus aku lakukan, padahal ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi suasana seperti ini.


Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di atas bibir tante Fany, dan kami kembali berciuman mesra sambil berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Fany. Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala belakang tante Fany, sedangkan tangan kananku meremas-remas payudara kiri tante Fany.


Tubuh tante Fany seperti cacing kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman denganku. Tanpa diberi komando, tante Fany tiba-tiba melepas celana dalamnya sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Fany memberikan instinct bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya.


Aku ingin sekali melihat kemaluan tante Fany saat itu, namun tante Fany tiba-tiba menarik tangan kananku untuk mendarat di kemaluannya.

“Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/memek tante Fany mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut tante Fany dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya. Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante Fany berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Fany mulai basah dan licin.


“Dewa … kamu yah … aaahhhh … kok jahat ama tante?” tanya tante Fany terengah-engah.

“Kan tante yang suruh tangan Dewa ke sini?” jawabku.

“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Dewass … Dewass … kamu kok nakal?” tanya tante Fany lagi.

“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Fany.

“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Fany mulai serak-serak basah.


Aku tetap memainkan itil tante Fany, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante Fany menjerit kencang seakaan-akan terjadi gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Fany bukan tipe wFanyta yang suka merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Fany tidak sakit buatku.


“Dewass … tante datangggg uhhh oohhh …” erang tante Fany. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu. Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu, tubuh tante Fany lemas dan nafasnya terengah-engah.


Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Fany, tapi sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Fany. Keragu-raguanku ini terbaca oleh tante Fany. Dengan lembutnya tante Fany berkata, “Dewa, kalo pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh liat kontol Dewa dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah panas.”.


Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang penisku ke mulut vagina tante Fany, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan. Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Fany. Selain mungkin karena basahnya dinding-dinding memek tante Fany yang memuluskan jalan masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah masuk di dalam sana.


“Uhhh … ohhh … Dewass … ahhh …” desah tante Fany.

Aku coba mengocok-kocok memek tante Fany dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Fany terlihat semakin ‘horny’, dan mendesah tak karuan.

“Dewass … Dewass … aduhhh Dewass … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Fany.

Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Fany, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Fany, sehingga aku berhenti sejenak.

“Dewass … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Fany.

“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi … ” jawabku serius.

“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam. Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Fany.

“Beres tante.” jawabku.

“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Fany genit.


Tanpa menunda banyak waktu lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Fany semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di sekitar bulu jembutku.


Aku mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan telingaku panas. Tante Fany pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan tante Fany 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku semakin mendekat saja.


“Dewa … ampunnn Dewa … kontolnya kok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi … tante geliii banget nihhh …” kata tante Fany.

“Tante … Dewa dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.


Puting tante Fany semakin terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras. Aku mendekatkan wajahku ke wajah tante Fany, dan bibir kami saling berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas tubuh tante Fany.


Aku percepat kocokan penisku di dalam memek tante Fany. Tante Fany sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan saja.


“Dewa … tante datangggg … uhhh … ahhhhhh …” jerit tante Fany sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda tante Fany telah ‘orgasme’.


Aku pun juga sama, lahar panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar. Aku masih ingat pesan tante Fany agar spermaku dilepas keluar dari memek tante Fany.


“Tante … Dewa datangggg …” jeritku Aaahhh. Kutarik penisku dari dalam memek tante Fany, dan penisku memuncratkan spermanya di perut tante Fany. Saking kencangnya, semburan spermaku sampai di dada dan leher tante Fany.


“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan kepuasanku.

“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Fany. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat mengomentari candaan tante Fany.


Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Fany. Kepalaku masih teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke langit-langit apartment tante Fany. Aku baru saja menikmati yang namanya surga dunia.


Tante Fany kemudian memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku tercium oleh hidungku.


“Dewa puas ngga?” tanya tante Fany.

“Bukan puas lagi tante … tapi Dewa seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.

“Emang memek tante surga yah?” canda tante Fany.

“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.

“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.

“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Dewa?” tanya tante Fany manja.

“Anuu … Dewa kasih si Dewa Junior … tuh tante liat jembut Dewa banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.

“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Fany sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.


“Dewa sering-sering datang ke rumah tante aja. Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante Fany.

“Sippp tante.” jawabku serentak girang.


Malam itu aku nginap di rumah tante Fany. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah. Aku sempat minta jatah 1 kali lagi dengan tante Fany, namum ajakanku ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya.


Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap tante Fany tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan ibu. Tante Fany senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang bervariasi pula selain apartementnya sendiri. Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku (ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai di sana). Tante Fany sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Fany seks dapat membuatnya merasa enak secara jasmani dan rohani, belum lagi seks yang teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah menceritakan kepadaku tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur.


Tante Fany paling suka ‘bermain’ tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi. Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Fany lupa menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan berejakulasi di luar (meskipun ini rawan kehamilannya tinggi juga).


Hubungan gelap ini sempat berjalan hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap tante Fany. Maklum aku masih tergolong remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi. Namun tante Fany menolaknya dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Fany bertambah serius, banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami. Tante Fany sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah hati waktu itu (hampir 1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Fany.


Saat ini aku masih berhubungan baik dengan tante Fany. Kami kadang-kadang menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Fany sampai sekarang masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single. Aku putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan pacarku, tante Fany sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Fany, namun tante Fany seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan mencari seorang pelarian. Jadi tante Fany tidak pernah merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin membantu meringkankan beban perasaan temannya

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama